Senin, 15 Desember 2014

Semangat Ukhuwah dibalik Tradisi Tahlilan



Semangat Ukhuwah dibalik Tradisi Tahlilan
Oleh: Sri Astuti*
Dari berbagai sumber
Sebuah tradisi yang telah mengakar di masyarakat akan terus berkembang selama keberadaannnya tetap dipertahankan oleh masyarakat tersebut. Salah satu tradisi yang masih berkembang di Sambas hingga saat ini yaitu Tahlilan. Acara Tahlilan merupakan ritual yang dilakukan oleh kerumunan masyarakat untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul keluarga, sanak saudara,  handai taulan, dan masyarakat sekitarnya membaca ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Tahlilan dalam masyarakat Sambas umumnya dilaksanakan pada hari pertama hingga hari ketiga secara berturut-turut setelah penguburan mayit. Kemudian dilanjutkan pada hari ke- 7, hari ke- 15, hari ke- 25, hari ke-40, hari ke- 100, hingga hari ke- 1000.
Sebenarnya, jauh sebelum datangnya Islam ritual selamatan kematian sudah ada dan pernah dilakukan oleh suatu ajaran penyembahan yang diperkirakan muncul sekitar tahun 5000 SM. Mereka merealisasikan bentuk kedukaan atas meninggalnya salah satu keluarga maupun kerabat melalui ritual upacara berupa nyanyian, makanan dan berdoa kepada roh nenek moyang mereka. Sedangkan di Indonesia selamatan kematian juga pernah dilakukan oleh masyarakat Jawa. Akan tetapi cara dan gaya praktiknya sangat jauh dari nilai- nilai kebaikan. Di saat keluarga yang ditinggalkan sedang berduka, di saat itu pula mereka isi waktu jaga malam dengan bermain judi dan mabuk- mabukan. Setelah masuknya pencerahan syaria’at Islam maka oleh Sunan Kalijaga merobah nilai- nilai keburukan tersebut menjadi nilai- nilai kebaikan berupa membaca tahlil, tasbih, takbir, tahmid dan bacaan ayat- ayat suci Al- Qur’an lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, acara tersebut terus menyebar ke berbagai daerah seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sumbawa, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan daerah lainnya. Meskipun bisa dikatakan terdapat sinkretisasi antara ajaran agama Hindu, Budha serta Islam, namun pada Tahlilan nilai- nilai keislamnnya masih jauh lebih menonjol, dan pembaurannya pun relatif masih dapat diidentifikasi. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, selamatan identik dengan sesajen yang di persembahkan untuk roh-roh halus. Setelah Islam masuk ke Nusantara, para penyebar Islam menyisipkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Tradisi slamatan bukan lagi sebagai persembahan untuk makhluk halus, melainkan sebagai sedekah yang tidak hanya merekatkan hubungan antara masyarakat, akan tetapi juga melatih kepedulian sosial.
Perdebatan yang sering muncul dikalangan ulama yang belum terpecahkan hingga saat ini yaitu mengenai boleh atau tidaknya Tahlilan dilaksanakan. Salah satu ulama yang melarang/ menolak pelaksanaan Tahlilan adalah Imam Syafi’i. Ia berkata bahwa: Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”. Sedangkan ulama yang membolehkan dilaksanakannya Tahlilan bersandarkan pada beberapa argumen yaitu pertama, dalam acara Tahlilan terdapat bacaan ayat- ayat Al- Qur’an, dzikir- dzikir, dan do’a- do’a. Kedua, Nilai- nilai shadaqah melalui pembagian makanan. Ketiga, merupakan wadah silaturrahim untuk menjalin rasa persaudaraan antar sesama.
Jika diteliti lebih jauh, tradisi Tahlilan sememangnya tidak didasarkan pada dalil khusus yang menganjurkan maupun melarangnya. Akan tetapi, karena esensi Tahlil adalah untuk menumbuhkan semangat dakwah, membangun jalinan ukhuwah (persaudaraan), mendekatkan diri kepada Allah Swt. melalui dzikir, doa, dan lain-lain, serta untuk mendoakan si mati dan mengingatkan kepada kematian, maka tradisi Tahlilan sebenarnya mempunyai nilai positif. Diantara manfaat yang dapat di petik dari Tahlilan diantaranya: Pertama, sebagai usaha bertaubat kepada Allah Swt. untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal dunia. Kedua, untuk mengingatkan bahwa akhir hidup di dunia ini adalah kematian. Ketiga, sebagai media penyambung hubungan ukhuwah antara sesama muslim. Keempat, sebagai salah satu media untuk menyejukkan rohani ditengah hiruk pikuk dunia. Kelima, sebagai penenang hati bagi keluarga almarhum yang sedang dirundung duka. Keenam, Tahlil merupakan salah satu bentuk media yang efektif untuk dakwah Islamiyah. Ketujuh, Tahlil juga sebagai realisasi bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia.
Perbedaan-perbedaan yang muncul terhadap pelaksanaan Tahlilan jangan sampai membuat kita terus menerus berselisih berkepanjangan dan merasa yang kita ketahui itu lebih benar. Padahal kebenaran hakiki hanya milik Allah Yang Maha Haq. Jangan karena perselisihan pula membuat gerak kita terhenti untuk beramal. Karena perbedaan itu fitrahnya manusia, walau kita mengamalkan hal yang masih diragukan keshahihannya, yang penting hal yang diperbuat itu tidak berbau maksiat dan lari dari sisi positif serta nilai- nilai kebaikan. Dan yang perlu di ingat, jangan sampai Tahlilan memberatkan keluarga si mati, karena Islam justru menganjurkan umatnya untuk meringankan beban mereka. Disamping itu, pihak keluarga jangan beranggapan bahwa Tahlilan adalah kewajiban syariat. Wallahualam.



* Penulis merupakan mahasiswa Semester VII, Fakultas Adab dan Ushuluddin, Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam.Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar