Semangat
Ukhuwah dibalik Tradisi Tahlilan
Oleh:
Sri Astuti*
Dari berbagai sumber
Sebuah tradisi yang
telah mengakar di masyarakat akan terus berkembang selama keberadaannnya tetap
dipertahankan oleh masyarakat tersebut. Salah satu tradisi yang masih
berkembang di Sambas hingga saat ini yaitu Tahlilan. Acara Tahlilan merupakan
ritual yang dilakukan oleh
kerumunan masyarakat untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama,
berkumpul keluarga, sanak saudara, handai
taulan, dan masyarakat sekitarnya membaca ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan
disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Tahlilan dalam
masyarakat Sambas umumnya dilaksanakan pada hari pertama hingga hari ketiga
secara berturut-turut setelah penguburan mayit. Kemudian dilanjutkan pada hari
ke- 7, hari ke- 15, hari ke- 25, hari ke-40, hari ke- 100, hingga hari ke-
1000.
Sebenarnya, jauh sebelum datangnya Islam ritual
selamatan kematian sudah ada dan pernah dilakukan oleh suatu ajaran penyembahan
yang diperkirakan muncul sekitar tahun 5000 SM. Mereka merealisasikan bentuk
kedukaan atas meninggalnya salah satu keluarga maupun kerabat melalui ritual
upacara berupa nyanyian, makanan dan berdoa kepada roh nenek moyang mereka. Sedangkan
di Indonesia selamatan kematian juga pernah dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Akan tetapi cara dan gaya praktiknya sangat jauh dari nilai- nilai kebaikan. Di
saat keluarga yang ditinggalkan sedang berduka, di saat itu pula mereka isi
waktu jaga malam dengan bermain judi dan mabuk- mabukan. Setelah masuknya
pencerahan syaria’at Islam maka oleh Sunan Kalijaga merobah nilai- nilai
keburukan tersebut menjadi nilai- nilai kebaikan berupa membaca tahlil, tasbih, takbir, tahmid dan bacaan ayat- ayat suci Al-
Qur’an lainnya.
Dalam perkembangan
selanjutnya, acara tersebut terus menyebar ke berbagai daerah seperti Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sumbawa, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Barat dan daerah lainnya. Meskipun bisa dikatakan terdapat
sinkretisasi antara ajaran agama Hindu, Budha serta Islam, namun pada Tahlilan
nilai- nilai keislamnnya masih jauh lebih menonjol, dan pembaurannya pun
relatif masih dapat diidentifikasi. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, selamatan
identik dengan sesajen yang di persembahkan untuk roh-roh halus. Setelah Islam
masuk ke Nusantara, para penyebar Islam menyisipkan nilai-nilai Islam di
dalamnya. Tradisi slamatan bukan lagi sebagai persembahan untuk makhluk halus,
melainkan sebagai sedekah yang tidak hanya merekatkan hubungan antara
masyarakat, akan tetapi juga melatih kepedulian sosial.
Perdebatan yang sering
muncul dikalangan ulama yang belum terpecahkan hingga saat ini yaitu mengenai
boleh atau tidaknya Tahlilan dilaksanakan. Salah satu ulama yang melarang/
menolak pelaksanaan Tahlilan adalah Imam Syafi’i. Ia berkata bahwa: “Barang
siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Sedangkan ulama yang membolehkan dilaksanakannya Tahlilan bersandarkan pada
beberapa argumen yaitu pertama, dalam acara Tahlilan
terdapat bacaan ayat- ayat Al- Qur’an, dzikir- dzikir, dan do’a- do’a. Kedua,
Nilai- nilai shadaqah melalui
pembagian makanan. Ketiga, merupakan wadah silaturrahim untuk menjalin rasa
persaudaraan antar sesama.
Jika diteliti lebih
jauh, tradisi Tahlilan sememangnya tidak didasarkan pada dalil khusus yang
menganjurkan maupun melarangnya. Akan tetapi, karena esensi Tahlil adalah untuk
menumbuhkan semangat dakwah, membangun jalinan ukhuwah (persaudaraan), mendekatkan diri kepada Allah Swt. melalui
dzikir, doa, dan lain-lain, serta untuk mendoakan si mati dan mengingatkan
kepada kematian, maka tradisi Tahlilan sebenarnya mempunyai nilai positif. Diantara manfaat yang dapat di petik dari Tahlilan
diantaranya: Pertama, sebagai usaha bertaubat kepada Allah Swt.
untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal
dunia. Kedua, untuk mengingatkan bahwa akhir hidup di dunia ini adalah kematian.
Ketiga, sebagai media penyambung hubungan ukhuwah
antara sesama muslim. Keempat, sebagai salah satu media untuk menyejukkan rohani ditengah hiruk pikuk dunia. Kelima,
sebagai penenang hati bagi
keluarga almarhum yang sedang dirundung duka. Keenam, Tahlil
merupakan salah satu bentuk media yang efektif untuk dakwah Islamiyah. Ketujuh, Tahlil juga sebagai realisasi bakti seorang anak
kepada kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia.
Perbedaan-perbedaan yang
muncul terhadap pelaksanaan Tahlilan jangan sampai membuat kita terus menerus
berselisih berkepanjangan dan merasa yang kita ketahui itu lebih benar. Padahal
kebenaran hakiki hanya milik Allah Yang Maha Haq. Jangan karena perselisihan
pula membuat gerak kita terhenti untuk beramal. Karena perbedaan itu fitrahnya
manusia, walau kita mengamalkan hal yang masih diragukan keshahihannya, yang
penting hal yang diperbuat itu tidak berbau maksiat dan lari dari sisi positif
serta nilai- nilai kebaikan. Dan yang perlu di ingat, jangan sampai Tahlilan memberatkan
keluarga si mati, karena Islam justru menganjurkan umatnya untuk meringankan
beban mereka. Disamping itu, pihak keluarga jangan beranggapan bahwa Tahlilan
adalah kewajiban syariat. Wallahualam.
* Penulis
merupakan mahasiswa Semester VII, Fakultas Adab dan Ushuluddin, Prodi Sejarah
dan Kebudayaan Islam.Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar