Senin, 22 Desember 2014
Minggu, 21 Desember 2014
Seni Tari Sambas: Tanda' Sambas
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kesenian
merupakan salah satu bagian dari kebudayaan yang berkembang di masyarakat.
Dengan seni, masyarakat mampu menuangkan hasil olah fikirnya untuk menciptakan
beragam kretifitas baru sebagai sarana hiburan masyarakat. Sekian banyak ragam
dan jenis seni yang ada, seni tari merupakan seni yang dinilai paling dekat
dengan masyarakat. Hal ini dikarenakan, tari berhubungan langsung dengan
penghayatan manusia itu sendiri dalam menggerakkan tubuhnya sesuai dengan
iringan lagu.
Salah satu
diantara tari-tarian yang berkembang di wilayah Sambas adalah Tanda’ Sambas.
Tanda’ Sambas berkembang di masyarakat Sambas sendiri sebagai hasil karya
masyarakat yang mendesak. Dikatakan mendesak karena ini tercipta secara spontan
sebagai akibat adanya keinginan untuk menghilangkan rasa lelah dan menciptakan
suasana yang gembira.
B. Rumusan
Masalah
Beberapa
permasalahan utama yang hendak dipaparkan dalam makalah ini yaitu sebagai
berikut:
1. Bagaimana
awal munculnya Tanda’ Sambas di daerah Sambas ?.
2. Apa
fungsi utama Tanda’ Sambas bagi masyarakat Sambas ?.
3. Bagaimana
perkembangan Tanda’ Sambas dari awal munculnya hingga sekarang ?.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang Lahirnya Tanda’ Sambas
Tanda’ merupakan
salah satu bahasa Melayu yang berarti menari.[1]
Dinamakan Tanda’ Sambas karena ini merupakan seni tari yang berada di wilayah
Sambas. Mengenai sejak kapan keberadaan Tanda’ Sambas hadir di tengah
masyarakat Melayu Sambas, siapa tokoh dan guru yang mengajarkannya belum
didapat penjelasan yang kuat dan akurat. H. Muin Ikram, salah satu pemerhati
kebudayaan Melayu Sambas,[2]
mengatakan bahwa Tanda’ Sambas merupakan seni tari asli Melayu Sambas.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa keberadaan Tanda’ Sambas sejalan dengan
perkembangan Islam di Kota Sambas.[3]
Sementara itu, Abah Ali,[4]
ketua Sanggar Kencana Kuning yang sudah menggeluti tarian Tanda’ Sambas dari
tahun 1991 berpendapat bahwa Tanda’ Sambas digunakan prajurit yang sedang
berlatih silat untuk mengelabui penjajah Belanda dengan mengubah gerakan silat
menjadi tari. Sehingga dapat dikatakan bahwa Tanda’ Sambas telah ada sejak
zaman penjajahan. Hanya saja, belum didapat kesepakatan
untuk memastikan waktu (tahun) awal keberadaan Tanda’ Sambas ini.
Diketahui bahwa, Tanda’ tidak hanya terdapat di Sambas tapi bisa
juga ditemukan di Sarawak Malaysia yang sering disebut Tanda’ Sarawak. Yang
membedakannya dengan Tanda’ Sambas adalah Tanda’ Sarawak hanya ditarikan oleh 2
(dua) orang yang berpasangan (sejenis; laki-laki dengan laki-laki, perempuan
dengan perempuan). Ia juga tidak memiliki lagu khusus.
Berdasarkan kesamaan namanya, dapat
dikatakan bahwa terdapat hubungan diantara Tanda’ Sambas dan Tanda’ Sarawak,
terlebih daerah Sambas dan Sarawak relatif dekat. Dalam kunjungannya ke
Sarawak, H. Muin Ikram mempertegas bahwa adanya Tanda’ Sarawak merupakan hasil
dari pembelajaran oleh masyarakat Sarawak kepada masayarakat Sambas.[5]
Ini dibuktikan dari pernyataan salah satu penggiat Tanda’ Sarawak yang
mengatakan bahwa Tanda’ Sarawak merupakan hasil pembelajaran kepada guru Tanda’
Sambas yaitu M. Ketol. Lalu M. Ketol mengajarkan Tanda’ Sambas ke beberapa
muridnya sehingga menyebar ke daerah-daerah lain.
B. Fungsi
Tanda’ Sambas
Pada Awalnya,
Tanda’ Sambas hanya digunakan sebagai salah satu hiburan dan tontonan rakyat
untuk melepaskan lelah setelah pulang dari sawah. Karena tergolong kedalam
tarian sosial (pergaulan) maka ia ditarikan secara spontan dengan gerakan bebas
dan sederhana serta tidak memiliki makna khusus. Seiring perkembangan zaman,
Tanda’ Sambas mulai menjadi seni tari yang multifungsi. Artinya, Tanda’ Sambas
selain digunakan sebagai sarana hiburan, ia juga digunakan sebagai pelengkap
dalam Upacara Adat Melayu, seperti acara pesta pernikahan, pindah rumah baru,
khataman serta hajatan lainnya.
Tanda’
Sambas menjadi salah satu pertunjukan dalam pembukaan Musabaqah Tilawatil
Qur’an peringkat Nasional ke-15 pada tahun 1985 di Pontianak untuk pertama
kalinya.[6]
Pada acara tersebut diikutsertakan kurang lebih 1000 orang penari yang terdiri
dari pelajar di Kota Pontianak. Selanjutnya, ia mulai menjadi seni tari yang
dipertandingkan di daerah Sambas dengan berbagai kreatifitas tariannya.
C. Perkembangan
Tanda’ Sambas
Kesenian akan
selalu berkembang sesuai zamannya. Begitupun dengan seni tari Tanda’ Sambas
yang terus digarap dengan berbagai kreasi baru sehingga menghasilkan beberapa
perubahan. Berbagai perubahan tersebut diantaranya:
1. Pelaku
gerak
Sejak Awal,
Tanda’ Sambas hanya ditarikan oleh kaum laki-laki dewasa yang berjumlah minimal
2 (dua) orang. Sedangkan kaum perempuan tidak diperkenankan ber-Tanda’ ataupun
menari tarian lain seperti Jappin dan Redad.[7]
Hal ini dikarenakan kaum perempuan sering dilarang keluar rumah dan diharuskan
menjaga dirinya agar tidak mempertontonkan gerak-gerik tubuhnya kepada khalayak
ramai.
Sekitar tahun
1950-an, karena minat yang cukup dalam terhadap seni tari, kaum perempuan mulai
ramai yang turut ber-Tanda’.[8] Sehingga
sampai sekarang Tanda’ Sambas pun mulai didominasi oleh perempuan.
2. Musik
Pengiring
Alat musik
pengiring Tanda’ Sambas pada awalnya hanya terdiri dari satu buah rebana dengan
seorang penabuh dan seorang vokalis. Penabuh tersebut juga boleh bertindak
sebagai vokalis. Lagu pengiring yang dibawakan adalah lagu rakyat Melayu Sambas
yang terdiri dari lagu “Bujang Betanda’” dan diikuti lagu “Sarang Bubut”.[9]
keduanya dibawakan secara berurutan. Lagu
yang dinyanyikan dalam Tanda’ Sambas boleh saja ditambah dengan lagu lainnya,
asalkan berirama sama dengan lagu sebelumnya.[10] Mengenai
siapa pengarang dan kapan diciptakannya lagu ini belum didapatkan data yang
tepat dan akurat. Akan tetapi, versi yang telah berkembang ditengah-tengah
masyarakat saat ini merupakan salinan ulang oleh seorang pemain teater Sambas
asal Kampung Dagang yaitu Hairoman yang juga merupakan salah satu tokoh (guru)
tari. Berikut lirik lagu Bujang Betanda’ dan Sarang Bubut.
Bujang Betanda’
Dua
lah bedua
Dua
bedua bujang betanda’
Langkah
kekere’
Langkah
kekanan
Marelah
kite besame lah same
Tanda’
lah sambas
Sunggoh
gembire
Hiborkan
ati gundah gulane
Sarang
Bubut
Sarang
lah bubut ai
Tappi
lah muare
Sarang
lah pirrik lah pinnang
Dipuccoklah
pinnang
Apelah
ngelugut ai
Bunyilah
suare
Barrok
di tillik jak tunnang
Gasa’ang
jak tunnang
Iringan
tari Tanda’ Sambas untuk saat ini telah mengalami berbagai perkembangan untuk
menambah keindahan tari tersebut. Misalnya ketika tampil secara manual, rebana
yang digunakan sudah lebih dari satu buah dengan seorang vokalis khusus. Selain
itu, Tanda’ Sambas juga sering diiringi dengan musik yang telah direkam
sebelumnya (dalam bentuk CD).
3. Busana
Tari
Sesuai dengan
zamannya, penggunaan busana yang sederhana menjadi salah satu ciri tarian
Tanda’ Sambas. Penari hanya menggunakan stelan baju Teluk Belanga dan kain
pelekat serta dilengkapi kopiah/songkok tanpa aksesoris tambahan. Demikian juga
tata rias tidak digunakan .
Seiring
berkembangnya minat perempuan terhadap Tanda’ Sambas, busana tari pun turut
berkembang. Penari perempuan menggunakan baju Melayu (baju kurung) dan
dilengkapi kain Bannang Ammas sebagai bawahannya. Selain itu, tata rias juga
mulai digunakan dengan berbagai penambahan aksesoris sebagai pelengkap
penampilan.
4. Ragam
gerak
Sejak masa
pertumbuhannya, Tanda’ Sambas belum memiliki gerakan khusus dan baku. Ia
ditarikan secara spontan sehingga tidak memiliki nama dan makna khusus. Lama
waktu (durasi) tarian tampil tergantung pada minat penonton. Bahkan pada saat
tarian berlangsung, penonton yang berminat menari dapat langsung ikut memasuki
arena tari dan menari bersama.
Tahun 1974, telah
dibuat sebuah keseragaman dalam ragam tari Tanda’ Sambas. Namun gaya dalam tari
Tanda’ Sambas masih tergantung kreativitas penari. Ragam ini diciptakan sendiri
oleh Ibu Aklima A. Ma. Pd untuk mempermudah pembelajaran Tanda’ Sambas.[11]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Tanda’ Sambas merupakan salah satu
jenis tari yang berkembang di daerah Sambas. Ia merupakan seni tari asli yang
diciptakan sendiri oleh masyarakat Sambas yang telah ada sejak masa penjajahan
dan masa perkembangan Islam.
Bagi masyarakat, Tanda’ Sambas
berfungsi sebagai sarana hiburan untuk melepas lelah. Namun, seiring
berjalannya waktu, terjadi pergeseran fungsi Tanda’ Sambas itu sendiri. Yang
mana selain sebagai sarana hiburan, ia juga berfungsi sebagai pelengkap dalam
upacara Adat Melayu Sambas. Bahkan, hingga saat sekarang Tanda’ Sambas sudah
menjadi bagian seni tari yang dipertandingkan.
Seperti halnya kebudayaan yang
berkembang di masyarakat, Tanda’ Sambas juga ikut berkembang sesuai dengan
keadaan zamannya. Yang mana dari bentuk yang sangat sederhana, hingga menjadi
satu kesatuan yang kompleks. Mulai dari pelaku gerak (penari), iringan musik,
ragam gerak, hingga busana tari. meski demikian, adanya perubahan tersebut
tetap mempertahankan nilai-nilai keMelayu an.
DAFTAR
PUSTAKA
Ikram,
A. Muin. 2008. Tanda’ Sambas: Tari
Pergaulan Kalimantan Barat. Kalimantan Barat: Yayasan Penulis Enam-Enam.
Nazamuddin,
2003. Langgam Tari Daerah dan Nasional.
Sambas: Dinas Komunikasi dan Pariwisata.
Asmirizani, “Tarian Tanda’ Sambas
Wajib Dilestarikan Oleh Pemuda”, dalam http://mabmonline.org/tarian-tanda-sambas-wajib-dilestarikan-oleh-pemuda/
(diakses pada tanggal
15 November 2013 jam 20.35 ).
Narasumber
1. Nama : H.
Arpan
Alamat :
Desa Pendawan
Aktivitas :
Penggiat Tari Tanda’ Sambas
2. Nama : H.
Muin Ikram
Alamat : Desa Tumok
Aktivitas : - Pemerhati Seni Budaya Melayu Sambas
- Penulis Seni Budaya Melayu
[1] Hasil wawancara dengan Bapak H.
Arpan, salah satu penggiat Tari Tanda’ Sambas di Desa Pendawan. (Pelaksanaan
wawancara tanggal 15 November 2013 jam 09.30).
[2] H. Muin Ikram disebut sebagai
pemerhati Kebudayaan Melayu Sambas dibuktikan dengan beberapa plakat
(cinderamata) yang diberikan lansung oleh Bupati Sambas kepadanya.
[3] Hasil wawancara dengan Bapak H.
Muin Ikram, salah satu pemerhati Seni Budaya Melayu Sambas di Desa Tumok. Saat
ini ia masih giat dalam bidang penulisan Seni Budaya Melayu. (Pelaksanaan
wawancara tanggal 16 November 2013 jam 11.00).
[4]Asmirizani, “Tarian Tanda’ Sambas
Wajib Dilestarikan Oleh Pemuda”, dalam http://mabmonline.org/tarian-tanda-sambas-wajib-dilestarikan-oleh-pemuda/ (diakses
pada tanggal 15 November 2013 jam 20.35 ).
[5]
Hasil wawancara dengan
Bapak H. Muin Ikram, (Pelaksanaan wawancara tanggal 03 April 2013 jam 10.15).
[6] A. Muin Ikram, Tanda’ Sambas: Tari Pergaulan Kalimantan
Barat, (Kalimantan Barat: Yayasan Penulis Enam-Enam, 2008). Hlm. 6.
[7] Ibid., hlm. 4.
[8] Hasil Wawancara dengan Bapak H.
Muin Ikram. (Pelaksanaan wawancara tanggal 16 November 2013 jam 11.00).
[9] Hasil Wawancara dengan Bapak H.
Muin Ikram. (Pelaksanaan wawancara tanggal 16 November 2013 jam 11.00).
[10]
Hasil Wawancara dengan
Bapak H. Muin Ikram. (Pelaksanaan wawancara tanggal 03 April 2013 jam 10.15).
[11] Nazamuddin, Langgam Tari Daerah dan Nasional (Sambas: Dinas Komunikasi dan
Pariwisata, 2003), hlm. 1-2.
Senin, 15 Desember 2014
Semangat Ukhuwah dibalik Tradisi Tahlilan
Semangat
Ukhuwah dibalik Tradisi Tahlilan
Oleh:
Sri Astuti*
Dari berbagai sumber
Sebuah tradisi yang
telah mengakar di masyarakat akan terus berkembang selama keberadaannnya tetap
dipertahankan oleh masyarakat tersebut. Salah satu tradisi yang masih
berkembang di Sambas hingga saat ini yaitu Tahlilan. Acara Tahlilan merupakan
ritual yang dilakukan oleh
kerumunan masyarakat untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama,
berkumpul keluarga, sanak saudara, handai
taulan, dan masyarakat sekitarnya membaca ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan
disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Tahlilan dalam
masyarakat Sambas umumnya dilaksanakan pada hari pertama hingga hari ketiga
secara berturut-turut setelah penguburan mayit. Kemudian dilanjutkan pada hari
ke- 7, hari ke- 15, hari ke- 25, hari ke-40, hari ke- 100, hingga hari ke-
1000.
Sebenarnya, jauh sebelum datangnya Islam ritual
selamatan kematian sudah ada dan pernah dilakukan oleh suatu ajaran penyembahan
yang diperkirakan muncul sekitar tahun 5000 SM. Mereka merealisasikan bentuk
kedukaan atas meninggalnya salah satu keluarga maupun kerabat melalui ritual
upacara berupa nyanyian, makanan dan berdoa kepada roh nenek moyang mereka. Sedangkan
di Indonesia selamatan kematian juga pernah dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Akan tetapi cara dan gaya praktiknya sangat jauh dari nilai- nilai kebaikan. Di
saat keluarga yang ditinggalkan sedang berduka, di saat itu pula mereka isi
waktu jaga malam dengan bermain judi dan mabuk- mabukan. Setelah masuknya
pencerahan syaria’at Islam maka oleh Sunan Kalijaga merobah nilai- nilai
keburukan tersebut menjadi nilai- nilai kebaikan berupa membaca tahlil, tasbih, takbir, tahmid dan bacaan ayat- ayat suci Al-
Qur’an lainnya.
Dalam perkembangan
selanjutnya, acara tersebut terus menyebar ke berbagai daerah seperti Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sumbawa, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Barat dan daerah lainnya. Meskipun bisa dikatakan terdapat
sinkretisasi antara ajaran agama Hindu, Budha serta Islam, namun pada Tahlilan
nilai- nilai keislamnnya masih jauh lebih menonjol, dan pembaurannya pun
relatif masih dapat diidentifikasi. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, selamatan
identik dengan sesajen yang di persembahkan untuk roh-roh halus. Setelah Islam
masuk ke Nusantara, para penyebar Islam menyisipkan nilai-nilai Islam di
dalamnya. Tradisi slamatan bukan lagi sebagai persembahan untuk makhluk halus,
melainkan sebagai sedekah yang tidak hanya merekatkan hubungan antara
masyarakat, akan tetapi juga melatih kepedulian sosial.
Perdebatan yang sering
muncul dikalangan ulama yang belum terpecahkan hingga saat ini yaitu mengenai
boleh atau tidaknya Tahlilan dilaksanakan. Salah satu ulama yang melarang/
menolak pelaksanaan Tahlilan adalah Imam Syafi’i. Ia berkata bahwa: “Barang
siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Sedangkan ulama yang membolehkan dilaksanakannya Tahlilan bersandarkan pada
beberapa argumen yaitu pertama, dalam acara Tahlilan
terdapat bacaan ayat- ayat Al- Qur’an, dzikir- dzikir, dan do’a- do’a. Kedua,
Nilai- nilai shadaqah melalui
pembagian makanan. Ketiga, merupakan wadah silaturrahim untuk menjalin rasa
persaudaraan antar sesama.
Jika diteliti lebih
jauh, tradisi Tahlilan sememangnya tidak didasarkan pada dalil khusus yang
menganjurkan maupun melarangnya. Akan tetapi, karena esensi Tahlil adalah untuk
menumbuhkan semangat dakwah, membangun jalinan ukhuwah (persaudaraan), mendekatkan diri kepada Allah Swt. melalui
dzikir, doa, dan lain-lain, serta untuk mendoakan si mati dan mengingatkan
kepada kematian, maka tradisi Tahlilan sebenarnya mempunyai nilai positif. Diantara manfaat yang dapat di petik dari Tahlilan
diantaranya: Pertama, sebagai usaha bertaubat kepada Allah Swt.
untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal
dunia. Kedua, untuk mengingatkan bahwa akhir hidup di dunia ini adalah kematian.
Ketiga, sebagai media penyambung hubungan ukhuwah
antara sesama muslim. Keempat, sebagai salah satu media untuk menyejukkan rohani ditengah hiruk pikuk dunia. Kelima,
sebagai penenang hati bagi
keluarga almarhum yang sedang dirundung duka. Keenam, Tahlil
merupakan salah satu bentuk media yang efektif untuk dakwah Islamiyah. Ketujuh, Tahlil juga sebagai realisasi bakti seorang anak
kepada kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia.
Perbedaan-perbedaan yang
muncul terhadap pelaksanaan Tahlilan jangan sampai membuat kita terus menerus
berselisih berkepanjangan dan merasa yang kita ketahui itu lebih benar. Padahal
kebenaran hakiki hanya milik Allah Yang Maha Haq. Jangan karena perselisihan
pula membuat gerak kita terhenti untuk beramal. Karena perbedaan itu fitrahnya
manusia, walau kita mengamalkan hal yang masih diragukan keshahihannya, yang
penting hal yang diperbuat itu tidak berbau maksiat dan lari dari sisi positif
serta nilai- nilai kebaikan. Dan yang perlu di ingat, jangan sampai Tahlilan memberatkan
keluarga si mati, karena Islam justru menganjurkan umatnya untuk meringankan
beban mereka. Disamping itu, pihak keluarga jangan beranggapan bahwa Tahlilan
adalah kewajiban syariat. Wallahualam.
* Penulis
merupakan mahasiswa Semester VII, Fakultas Adab dan Ushuluddin, Prodi Sejarah
dan Kebudayaan Islam.Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas.
Langganan:
Postingan (Atom)