Minggu, 21 Desember 2014

Seni Tari Sambas: Tanda' Sambas



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Dengan seni, masyarakat mampu menuangkan hasil olah fikirnya untuk menciptakan beragam kretifitas baru sebagai sarana hiburan masyarakat. Sekian banyak ragam dan jenis seni yang ada, seni tari merupakan seni yang dinilai paling dekat dengan masyarakat. Hal ini dikarenakan, tari berhubungan langsung dengan penghayatan manusia itu sendiri dalam menggerakkan tubuhnya sesuai dengan iringan lagu.
Salah satu diantara tari-tarian yang berkembang di wilayah Sambas adalah Tanda’ Sambas. Tanda’ Sambas berkembang di masyarakat Sambas sendiri sebagai hasil karya masyarakat yang mendesak. Dikatakan mendesak karena ini tercipta secara spontan sebagai akibat adanya keinginan untuk menghilangkan rasa lelah dan menciptakan suasana yang gembira.

B.  Rumusan Masalah
Beberapa permasalahan utama yang hendak dipaparkan dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.   Bagaimana awal munculnya Tanda’ Sambas di daerah Sambas ?.
2.   Apa fungsi utama Tanda’ Sambas bagi masyarakat Sambas ?.
3.   Bagaimana perkembangan Tanda’ Sambas dari awal munculnya hingga sekarang ?.




BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Lahirnya Tanda’ Sambas
Tanda’ merupakan salah satu bahasa Melayu yang berarti menari.[1] Dinamakan Tanda’ Sambas karena ini merupakan seni tari yang berada di wilayah Sambas. Mengenai sejak kapan keberadaan Tanda’ Sambas hadir di tengah masyarakat Melayu Sambas, siapa tokoh dan guru yang mengajarkannya belum didapat penjelasan yang kuat dan akurat. H. Muin Ikram, salah satu pemerhati kebudayaan Melayu Sambas,[2] mengatakan bahwa Tanda’ Sambas merupakan seni tari asli Melayu Sambas. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa keberadaan Tanda’ Sambas sejalan dengan perkembangan Islam di Kota Sambas.[3]
Sementara itu, Abah Ali,[4] ketua Sanggar Kencana Kuning yang sudah menggeluti tarian Tanda’ Sambas dari tahun 1991 berpendapat bahwa Tanda’ Sambas digunakan prajurit yang sedang berlatih silat untuk mengelabui penjajah Belanda dengan mengubah gerakan silat menjadi tari. Sehingga dapat dikatakan bahwa Tanda’ Sambas telah ada sejak zaman penjajahan. Hanya saja, belum didapat kesepakatan untuk memastikan waktu (tahun) awal keberadaan Tanda’ Sambas ini.
Diketahui bahwa, Tanda’ tidak hanya terdapat di Sambas tapi bisa juga ditemukan di Sarawak Malaysia yang sering disebut Tanda’ Sarawak. Yang membedakannya dengan Tanda’ Sambas adalah Tanda’ Sarawak hanya ditarikan oleh 2 (dua) orang yang berpasangan (sejenis; laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan). Ia juga tidak memiliki lagu khusus.
Berdasarkan kesamaan namanya, dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan diantara Tanda’ Sambas dan Tanda’ Sarawak, terlebih daerah Sambas dan Sarawak relatif dekat. Dalam kunjungannya ke Sarawak, H. Muin Ikram mempertegas bahwa adanya Tanda’ Sarawak merupakan hasil dari pembelajaran oleh masyarakat Sarawak kepada masayarakat Sambas.[5] Ini dibuktikan dari pernyataan salah satu penggiat Tanda’ Sarawak yang mengatakan bahwa Tanda’ Sarawak merupakan hasil pembelajaran kepada guru Tanda’ Sambas yaitu M. Ketol. Lalu M. Ketol mengajarkan Tanda’ Sambas ke beberapa muridnya sehingga menyebar ke daerah-daerah lain.
B.  Fungsi Tanda’ Sambas
Pada Awalnya, Tanda’ Sambas hanya digunakan sebagai salah satu hiburan dan tontonan rakyat untuk melepaskan lelah setelah pulang dari sawah. Karena tergolong kedalam tarian sosial (pergaulan) maka ia ditarikan secara spontan dengan gerakan bebas dan sederhana serta tidak memiliki makna khusus. Seiring perkembangan zaman, Tanda’ Sambas mulai menjadi seni tari yang multifungsi. Artinya, Tanda’ Sambas selain digunakan sebagai sarana hiburan, ia juga digunakan sebagai pelengkap dalam Upacara Adat Melayu, seperti acara pesta pernikahan, pindah rumah baru, khataman serta hajatan lainnya.
Tanda’ Sambas menjadi salah satu pertunjukan dalam pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur’an peringkat Nasional ke-15 pada tahun 1985 di Pontianak untuk pertama kalinya.[6] Pada acara tersebut diikutsertakan kurang lebih 1000 orang penari yang terdiri dari pelajar di Kota Pontianak. Selanjutnya, ia mulai menjadi seni tari yang dipertandingkan di daerah Sambas dengan berbagai kreatifitas tariannya.
C.  Perkembangan Tanda’ Sambas
Kesenian akan selalu berkembang sesuai zamannya. Begitupun dengan seni tari Tanda’ Sambas yang terus digarap dengan berbagai kreasi baru sehingga menghasilkan beberapa perubahan. Berbagai perubahan tersebut diantaranya:
1.    Pelaku gerak
Sejak Awal, Tanda’ Sambas hanya ditarikan oleh kaum laki-laki dewasa yang berjumlah minimal 2 (dua) orang. Sedangkan kaum perempuan tidak diperkenankan ber-Tanda’ ataupun menari tarian lain seperti Jappin dan Redad.[7] Hal ini dikarenakan kaum perempuan sering dilarang keluar rumah dan diharuskan menjaga dirinya agar tidak mempertontonkan gerak-gerik tubuhnya kepada khalayak ramai.
Sekitar tahun 1950-an, karena minat yang cukup dalam terhadap seni tari, kaum perempuan mulai ramai yang turut ber-Tanda’.[8] Sehingga sampai sekarang Tanda’ Sambas pun mulai didominasi oleh perempuan.
2.    Musik Pengiring
Alat musik pengiring Tanda’ Sambas pada awalnya hanya terdiri dari satu buah rebana dengan seorang penabuh dan seorang vokalis. Penabuh tersebut juga boleh bertindak sebagai vokalis. Lagu pengiring yang dibawakan adalah lagu rakyat Melayu Sambas yang terdiri dari lagu “Bujang Betanda’” dan diikuti lagu “Sarang Bubut”.[9] keduanya dibawakan secara berurutan.  Lagu yang dinyanyikan dalam Tanda’ Sambas boleh saja ditambah dengan lagu lainnya, asalkan berirama sama dengan lagu sebelumnya.[10] Mengenai siapa pengarang dan kapan diciptakannya lagu ini belum didapatkan data yang tepat dan akurat. Akan tetapi, versi yang telah berkembang ditengah-tengah masyarakat saat ini merupakan salinan ulang oleh seorang pemain teater Sambas asal Kampung Dagang yaitu Hairoman yang juga merupakan salah satu tokoh (guru) tari. Berikut lirik lagu Bujang Betanda’ dan Sarang Bubut.

Bujang Betanda’
Dua lah bedua
Dua bedua bujang betanda’
Langkah kekere’
Langkah kekanan
Marelah kite besame lah same
Tanda’ lah sambas
Sunggoh gembire
Hiborkan ati gundah gulane

Sarang Bubut
Sarang lah bubut ai
Tappi lah muare
Sarang lah pirrik lah pinnang
Dipuccoklah pinnang
Apelah ngelugut ai
Bunyilah suare
Barrok di tillik jak tunnang
Gasa’ang jak tunnang

Iringan tari Tanda’ Sambas untuk saat ini telah mengalami berbagai perkembangan untuk menambah keindahan tari tersebut. Misalnya ketika tampil secara manual, rebana yang digunakan sudah lebih dari satu buah dengan seorang vokalis khusus. Selain itu, Tanda’ Sambas juga sering diiringi dengan musik yang telah direkam sebelumnya (dalam bentuk CD).
3.   Busana Tari
Sesuai dengan zamannya, penggunaan busana yang sederhana menjadi salah satu ciri tarian Tanda’ Sambas. Penari hanya menggunakan stelan baju Teluk Belanga dan kain pelekat serta dilengkapi kopiah/songkok tanpa aksesoris tambahan. Demikian juga tata rias tidak digunakan .
Seiring berkembangnya minat perempuan terhadap Tanda’ Sambas, busana tari pun turut berkembang. Penari perempuan menggunakan baju Melayu (baju kurung) dan dilengkapi kain Bannang Ammas sebagai bawahannya. Selain itu, tata rias juga mulai digunakan dengan berbagai penambahan aksesoris sebagai pelengkap penampilan.
4.   Ragam gerak
Sejak masa pertumbuhannya, Tanda’ Sambas belum memiliki gerakan khusus dan baku. Ia ditarikan secara spontan sehingga tidak memiliki nama dan makna khusus. Lama waktu (durasi) tarian tampil tergantung pada minat penonton. Bahkan pada saat tarian berlangsung, penonton yang berminat menari dapat langsung ikut memasuki arena tari dan menari bersama.
Tahun 1974, telah dibuat sebuah keseragaman dalam ragam tari Tanda’ Sambas. Namun gaya dalam tari Tanda’ Sambas masih tergantung kreativitas penari. Ragam ini diciptakan sendiri oleh Ibu Aklima A. Ma. Pd untuk mempermudah pembelajaran Tanda’ Sambas.[11]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tanda’ Sambas merupakan salah satu jenis tari yang berkembang di daerah Sambas. Ia merupakan seni tari asli yang diciptakan sendiri oleh masyarakat Sambas yang telah ada sejak masa penjajahan dan masa perkembangan Islam.  
Bagi masyarakat, Tanda’ Sambas berfungsi sebagai sarana hiburan untuk melepas lelah. Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran fungsi Tanda’ Sambas itu sendiri. Yang mana selain sebagai sarana hiburan, ia juga berfungsi sebagai pelengkap dalam upacara Adat Melayu Sambas. Bahkan, hingga saat sekarang Tanda’ Sambas sudah menjadi bagian seni tari yang dipertandingkan.
Seperti halnya kebudayaan yang berkembang di masyarakat, Tanda’ Sambas juga ikut berkembang sesuai dengan keadaan zamannya. Yang mana dari bentuk yang sangat sederhana, hingga menjadi satu kesatuan yang kompleks. Mulai dari pelaku gerak (penari), iringan musik, ragam gerak, hingga busana tari. meski demikian, adanya perubahan tersebut tetap mempertahankan nilai-nilai keMelayu an.



                                                                                                                  



DAFTAR PUSTAKA
Ikram, A. Muin. 2008. Tanda’ Sambas: Tari Pergaulan Kalimantan Barat. Kalimantan Barat: Yayasan Penulis Enam-Enam.
Nazamuddin, 2003. Langgam Tari Daerah dan Nasional. Sambas: Dinas Komunikasi dan Pariwisata.
Asmirizani, “Tarian Tanda’ Sambas Wajib Dilestarikan Oleh Pemuda”, dalam http://mabmonline.org/tarian-tanda-sambas-wajib-dilestarikan-oleh-pemuda/ (diakses pada tanggal 15 November 2013 jam 20.35 ).


















Narasumber

1.   Nama       : H. Arpan
Alamat     : Desa Pendawan
Aktivitas  : Penggiat Tari Tanda’ Sambas

2.   Nama       : H. Muin Ikram
Alamat     : Desa Tumok
Aktivitas  : - Pemerhati Seni Budaya Melayu Sambas
-   Penulis Seni Budaya Melayu










[1] Hasil wawancara dengan Bapak H. Arpan, salah satu penggiat Tari Tanda’ Sambas di Desa Pendawan. (Pelaksanaan wawancara tanggal 15 November 2013 jam 09.30).
[2] H. Muin Ikram disebut sebagai pemerhati Kebudayaan Melayu Sambas dibuktikan dengan beberapa plakat (cinderamata) yang diberikan lansung oleh Bupati Sambas kepadanya.
[3] Hasil wawancara dengan Bapak H. Muin Ikram, salah satu pemerhati Seni Budaya Melayu Sambas di Desa Tumok. Saat ini ia masih giat dalam bidang penulisan Seni Budaya Melayu. (Pelaksanaan wawancara tanggal 16 November 2013 jam 11.00).
[4]Asmirizani, “Tarian Tanda’ Sambas Wajib Dilestarikan Oleh Pemuda”, dalam http://mabmonline.org/tarian-tanda-sambas-wajib-dilestarikan-oleh-pemuda/ (diakses pada tanggal 15 November 2013 jam 20.35 ).
[5] Hasil wawancara dengan Bapak H. Muin Ikram, (Pelaksanaan wawancara tanggal 03 April 2013 jam 10.15).
[6] A. Muin Ikram, Tanda’ Sambas: Tari Pergaulan Kalimantan Barat, (Kalimantan Barat: Yayasan Penulis Enam-Enam, 2008). Hlm. 6.
[7] Ibid., hlm. 4.
[8] Hasil Wawancara dengan Bapak H. Muin Ikram. (Pelaksanaan wawancara tanggal 16 November 2013 jam 11.00).
[9] Hasil Wawancara dengan Bapak H. Muin Ikram. (Pelaksanaan wawancara tanggal 16 November 2013 jam 11.00).
[10] Hasil Wawancara dengan Bapak H. Muin Ikram. (Pelaksanaan wawancara tanggal 03 April 2013 jam 10.15).
[11] Nazamuddin, Langgam Tari Daerah dan Nasional (Sambas: Dinas Komunikasi dan Pariwisata, 2003), hlm. 1-2.

Senin, 15 Desember 2014

Semangat Ukhuwah dibalik Tradisi Tahlilan



Semangat Ukhuwah dibalik Tradisi Tahlilan
Oleh: Sri Astuti*
Dari berbagai sumber
Sebuah tradisi yang telah mengakar di masyarakat akan terus berkembang selama keberadaannnya tetap dipertahankan oleh masyarakat tersebut. Salah satu tradisi yang masih berkembang di Sambas hingga saat ini yaitu Tahlilan. Acara Tahlilan merupakan ritual yang dilakukan oleh kerumunan masyarakat untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul keluarga, sanak saudara,  handai taulan, dan masyarakat sekitarnya membaca ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Tahlilan dalam masyarakat Sambas umumnya dilaksanakan pada hari pertama hingga hari ketiga secara berturut-turut setelah penguburan mayit. Kemudian dilanjutkan pada hari ke- 7, hari ke- 15, hari ke- 25, hari ke-40, hari ke- 100, hingga hari ke- 1000.
Sebenarnya, jauh sebelum datangnya Islam ritual selamatan kematian sudah ada dan pernah dilakukan oleh suatu ajaran penyembahan yang diperkirakan muncul sekitar tahun 5000 SM. Mereka merealisasikan bentuk kedukaan atas meninggalnya salah satu keluarga maupun kerabat melalui ritual upacara berupa nyanyian, makanan dan berdoa kepada roh nenek moyang mereka. Sedangkan di Indonesia selamatan kematian juga pernah dilakukan oleh masyarakat Jawa. Akan tetapi cara dan gaya praktiknya sangat jauh dari nilai- nilai kebaikan. Di saat keluarga yang ditinggalkan sedang berduka, di saat itu pula mereka isi waktu jaga malam dengan bermain judi dan mabuk- mabukan. Setelah masuknya pencerahan syaria’at Islam maka oleh Sunan Kalijaga merobah nilai- nilai keburukan tersebut menjadi nilai- nilai kebaikan berupa membaca tahlil, tasbih, takbir, tahmid dan bacaan ayat- ayat suci Al- Qur’an lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, acara tersebut terus menyebar ke berbagai daerah seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sumbawa, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan daerah lainnya. Meskipun bisa dikatakan terdapat sinkretisasi antara ajaran agama Hindu, Budha serta Islam, namun pada Tahlilan nilai- nilai keislamnnya masih jauh lebih menonjol, dan pembaurannya pun relatif masih dapat diidentifikasi. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, selamatan identik dengan sesajen yang di persembahkan untuk roh-roh halus. Setelah Islam masuk ke Nusantara, para penyebar Islam menyisipkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Tradisi slamatan bukan lagi sebagai persembahan untuk makhluk halus, melainkan sebagai sedekah yang tidak hanya merekatkan hubungan antara masyarakat, akan tetapi juga melatih kepedulian sosial.
Perdebatan yang sering muncul dikalangan ulama yang belum terpecahkan hingga saat ini yaitu mengenai boleh atau tidaknya Tahlilan dilaksanakan. Salah satu ulama yang melarang/ menolak pelaksanaan Tahlilan adalah Imam Syafi’i. Ia berkata bahwa: Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”. Sedangkan ulama yang membolehkan dilaksanakannya Tahlilan bersandarkan pada beberapa argumen yaitu pertama, dalam acara Tahlilan terdapat bacaan ayat- ayat Al- Qur’an, dzikir- dzikir, dan do’a- do’a. Kedua, Nilai- nilai shadaqah melalui pembagian makanan. Ketiga, merupakan wadah silaturrahim untuk menjalin rasa persaudaraan antar sesama.
Jika diteliti lebih jauh, tradisi Tahlilan sememangnya tidak didasarkan pada dalil khusus yang menganjurkan maupun melarangnya. Akan tetapi, karena esensi Tahlil adalah untuk menumbuhkan semangat dakwah, membangun jalinan ukhuwah (persaudaraan), mendekatkan diri kepada Allah Swt. melalui dzikir, doa, dan lain-lain, serta untuk mendoakan si mati dan mengingatkan kepada kematian, maka tradisi Tahlilan sebenarnya mempunyai nilai positif. Diantara manfaat yang dapat di petik dari Tahlilan diantaranya: Pertama, sebagai usaha bertaubat kepada Allah Swt. untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal dunia. Kedua, untuk mengingatkan bahwa akhir hidup di dunia ini adalah kematian. Ketiga, sebagai media penyambung hubungan ukhuwah antara sesama muslim. Keempat, sebagai salah satu media untuk menyejukkan rohani ditengah hiruk pikuk dunia. Kelima, sebagai penenang hati bagi keluarga almarhum yang sedang dirundung duka. Keenam, Tahlil merupakan salah satu bentuk media yang efektif untuk dakwah Islamiyah. Ketujuh, Tahlil juga sebagai realisasi bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia.
Perbedaan-perbedaan yang muncul terhadap pelaksanaan Tahlilan jangan sampai membuat kita terus menerus berselisih berkepanjangan dan merasa yang kita ketahui itu lebih benar. Padahal kebenaran hakiki hanya milik Allah Yang Maha Haq. Jangan karena perselisihan pula membuat gerak kita terhenti untuk beramal. Karena perbedaan itu fitrahnya manusia, walau kita mengamalkan hal yang masih diragukan keshahihannya, yang penting hal yang diperbuat itu tidak berbau maksiat dan lari dari sisi positif serta nilai- nilai kebaikan. Dan yang perlu di ingat, jangan sampai Tahlilan memberatkan keluarga si mati, karena Islam justru menganjurkan umatnya untuk meringankan beban mereka. Disamping itu, pihak keluarga jangan beranggapan bahwa Tahlilan adalah kewajiban syariat. Wallahualam.



* Penulis merupakan mahasiswa Semester VII, Fakultas Adab dan Ushuluddin, Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam.Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas.